Pembukaan Rapat Koordinasi Pegembangan Sdm Dan Pembangunan Kesos III Tanggal 22-25 April 2014

Sumatera Barat pada    tanggal 22 – 25 April 2014 di Hotel Grand Inna Muara Padang dan dihadiri oleh Gubernur Provinsi Sumatera Barat Anggota Komisi VIII DPR-RI, Para Bupati/Walikota dan Jajaran Pemerintah Daerah, Para Pejabat Eselon I Kementerian Sosial RI, Staf Khusus Menteri Sosial, Para Rektor Perguruan Tinggi, Para Pemimpin Organisasi Non Pemerintah (NGO’s), baik Nasional maupun Internasional, Para Peserta Rakorbang SDM dan Pembangunan Kesos.  Kegiatan ini dihadiri juga oleh Pejabat Struktural, Fungsional  Unit Kerja di lingkungan  Kementerian Sosial RI.


Maksud dan tujuan penyelenggaraan Rakorbang SDM dan Pembangunan Kesos III Tahun 2014 ini adalah mewujudkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program dalam membangun sistem pelayanan terpadu melalui pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial untuk percepatan penanggulangan kemiskinan.

Rakorbang SDM Kesos tahun 2014 dilaksanakan menjadi momen yang tepat untuk merumuskan kesepakatan dan program aksi bersama dalam membangun sistem pelayanan terpadu dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial, yang didukung dengan pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial yang terpadu, dalam mengupayakan percepatan penanggulangan kemiskinan di Negara kita.  Hal ini menjadi relevan jika mengacu pada amanah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Kegiatan Rakorbang di awali dengan laporan Penyelenggara Rakorbang yang di sampaikan oleh Kepala Badan Badiklit Kesos Dr. Ir. Raden Harry Hikmat, MSi dilanjutkan Sambutan Menteri Sosial RI, DR. Salim Segaf Al Jufri, MA

Dalam sambutannya kegiatan Rapat Koordinasi Pengembangan SDM dan Pembangunan Kesos III Tahun 2014. Kegiatan Rakorbang di Padang Sumatera Barat ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan serupa pada 6 (enam) wilayah regional, yang meliputi Padang, Bandung, Yogyakarta, Banjarmasin, Makassar, dan Jayapura. Saya menyampaikan apresiasi kepada jajaran Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial (Badiklitkesos), karena tahun ini menjadi tahun ketiga penyelenggaraan kegiatan yang menurut saya bermakna strategis dan fundamental, khususnya terkait dengan pengembangan SDM dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial ke depan.

Rapat Koordinasi Pengembangan SDM dan Pembangunan Kesejahteraan Sosial III Tahun 2014 ini, menurut Mensos  menjadi momen yang tepat bagi kita semua, untuk merumuskan kesepakatan dan program aksi bersama dalam membangun sistem pelayanan terpadu dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial, yang didukung dengan pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial yang terpadu, dalam mengupayakan percepatan penanggulangan kemiskinan di Negara kita.  Hal ini menjadi relevan jika mengacu pada amanah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, di mana program-program pembangunan kesejahteraan sosial difokuskan pada penanggulangan kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, serta permasalahan sosial lain akibat dampak negatif perkembangan global.

Pada kesempatan ini izinkan saya menyampaikan bahwa secara konseptual, pembangunan pada hakekatnya tidak diarahkan untuk mengejar target pertumbuhan, dengan menekankan pada pembangunan  ekonomi semata, namun secara integratif dan komprehensif mampu mewujudkan kondisi kesejahteraan seluruh bangsa.

Meski masih banyak keterbatasan dan kelemahan, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini secara bertahap telah mulai membawa bangsa ini ke arah kondisi yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Kondisi kemiskinan, misalnya, secara bertahap berhasil kita turunkan meski sejak tahun 2010 laju penurunannya melambat, di mana secara absolut menurun sekitar 1 juta penduduk miskin per tahun (BPS, 2012). Kemiskinan pada dasarnya merupakan masalah sosial dengan multi dimensi (Bappenas, 2014).

Pertama, kemiskinan bisa dipicu oleh keterbatasan kualitas SDM, yang disebabkan oleh relatif rendahnya kesadaran bersekolah khususnya perdesaan, tidak terjaganya ataupun tidak berkembangnya kearifan dan pengetahuan lokal, maupun pola hidup yang tidak sehat.

Kedua, kemiskinan juga bisa dipicu oleh keterbatasan infrastruktur, seperti fasilitas air bersih, jalan perdesaan dan irigasi, jaringan listrik, maupun pemukiman yang layak.

Ketiga, kemiskinan juga dipicu oleh hambatan ekonomi, seperti kurangnya diversifikasi keahlian, ketiadaan modal, ketidaklancaran arus barang karena minimnya infrastruktur, dan kewirausahaan yang tidak berkembang.

Keempat, kemiskinan juga bisa dipicu oleh faktor yang berasal dari dalam diri warga miskin, yaitu semangat juang yang lemah maupun motivasi mengubah nasib yang rendah.

Percepatan penurunan jumlah penduduk miskin, bagaimanapun, harus tetap diupayakan agar bangsa ini bisa menuju kondisi yang sejahtera, sesuai cita-cita dan amanah para pendiri bangsa. Di sisi lain, karakteristik kemiskinan yang sebarannya tidak merata antar wilayah, maupun permasalahan kemiskinan yang berbeda-beda di setiap rumah tangga, memerlukan keterpaduan penanganan di berbagai tingkatan.

Dalam situasi dan kondisi perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial yang semakin kompleks, tuntutan publik terhadap orientasi kebijakan dan program pembangunan nasional yang bertumpu pada keadilan untuk semua; serta melindungi hak asasi manusia, dibutuhkan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Atas dasar itu, maka ke depan harus diorientasikan pada : pelayanan sosial terpadu yang berkelanjutan (one stop services), menjangkau seluruh warga yang mengalami masalah kesejahteraan sosial (universal approach), sistem dan program kesejahteraan sosial yang melembaga dan profesional, mengedepankan peran dan tanggung jawab keluarga serta masyarakat, serta menjadi isu dan sasaran strategis dalam RPJMN III dam Rencana Strategis Pengembangan Kesejahteraan Sosial.

Adapun strategi pembangunan kesejahteraan sosial yang saat ini dikembangkan seiring dengan perubahan paradigma dimaksud adalah :

Pertama, aktualisasi kesetiakawanan sosial dan kearifan lokal, yaitu mengimplementasikan nilai-nilai kesetiakawanan sosial, norma-norma adat dan budaya setempat dalam pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan.

Kedua, partisipasi sosial, yaitu mengutamakan keterlibatan dan dukungan penuh seluruh komponen dalam masyarakat pada setiap proses pemberdayaan masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan masalah sosial lainnya.

Ketiga, kemitraan sosial, yaitu mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak terkait (pemerintah, dunia usaha, LSM/Orsos, Perguruan Tinggi, kalangan Perbankan dan masyarakat umumnya) dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan masalah sosial lainnya.

Keempat, advokasi sosial, yaitu mengimplementasikan pendampingan sosial, perlindungan sosial dan pembelaan terhadap hak-hak dasar fakir miskin yang dilanggar oleh pihak lain, agar mendapatkan haknya kembali, terutama akses terhadap pelayanan sosial dasar, peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraannya.

Kelima, penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan, yaitu meningkatkan profesionalisme dan kinerja pekerja sosial, pendamping sosial, masyarakat, organisasi sosial, dunia usaha, serta penerima pelayanan program penanggulangan kemiskinan.  



Seiring dengan perubahan paradigma dan strategi dalam pembangunan kesejahteraan sosial dimaksud,  Kementerian Sosial saat ini tengah mengembangkan model dan sistem pelayanan sosial terpadu (one stop services), yang dikenal dengan nama Pelayanan Terpadu dan Gerakan Masyarakat Peduli Kabupaten/Kota Sejahtera (Pandu Gempita). Pada tahun 2013 yang lalu telah ditetapkan 5 Kabupaten/Kota sebagai lokasi pilot project, yaitu Kota Payakumbuh, Kota Sukabumi, Kabupaten Sragen, Kabupaten Berau dan Kabupaten Bantaeng.

Pada unit pelayanan Pandu Gempita, diintegrasikan pemberian pelayanan sosial kepada penduduk miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial secara terpadu, yang mencakup pelayanan di bidang Pendidikan, Kesehatan, Sosial Ekonomi, dan Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha serta Relawan Sosial.

Dengan komitmen yang kuat dari masing-masing Pemerintah Daerah di lokasi pilot project, secara bertahap pelayanan sosial secara terpadu bisa diwujudkan, didukung dengan penyediaan gedung tersendiri, sistem IT yang memadai, maupun personil dari masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait yang memiliki komitmen tinggi untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada setiap penerima manfaat yang membutuhkan layanan.    

Pengembangan dan perluasan Pandu Gempita sebagai model dan sistem pelayanan sosial terpadu ini menjadi penting dan relevan mengingat keterpaduan juga menjadi agenda strategis dalam RPJMN III tahun 2015–2019. Terkait dengan itu, Kementerian Sosial saat ini sedang mengajukan usulan dalam RJMN III 2015–2019 agar ditetapkan target 20% Kabupaten/Kota melaksanakan Pelayanan Terpadu dan Gerakan Masyarakat Peduli Kabupaten/Kota Sejahtera (One Stop Services). Pengembangan dan perluasan model maupun sistem pelayanan terpadu ini akan bersinergi dengan program-program unggulan Kementerian Sosial selama ini, seperti Asistensi Sosial Bagi Lanjut Usia, Asistensi Sosial Bagi Orang Dengan Kecacatan, Perlindungan dan Advokasi Sosial Bagi Perempuan Korban Tindak Kekerasan, Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE), maupun Program Keluarga Harapan (PKH).

 Di sisi lain, perkembangan Program Keluarga Harapan (PKH), sebagai salah satu bentuk kebijakan dan program perlindungan sosial, yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2007, juga memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hingga tahun 2013, PKH telah menjangkau 2,4 juta RTSM yang tersebar di 334 Kabupaten/Kota dan 2.843 Kecamatan, dengan didukung oleh 11.132 tenaga Pendamping di seluruh Indonesia. Pada akhir tahun 2014, program tersebut ditargetkan akan menjangkau 3,2 juta RTSM yang tersebar di 497 kabupaten/kota dan 3.342 kecamatan, dengan didukung 14.432 tenaga pendamping.

Dari hasil evaluasi dampak PKH, yang dilakukan oleh Bappenas (2009), Bank Dunia (2010), dan Puslitbang Kemensos (2012), terjadi peningkatan akses dari RTSM terhadap 2 (dua) jenis pelayanan dasar, yaitu pendidikan dan kesehatan, yang berimplikasi antara lain pada peningkatan capaian pendidikan, peningkatan status kesehatan ibu dan anak, maupun penurunan angka kurang gizi.

Pada masa yang akan datang, saya berpandangan bahwa potensi infrastruktur yang ada pada PKH, yaitu keberadaan 497 Unit Pelaksana PKH Kabupaten dan 3.342 Unit Pelaksana PKH Kecamatan, berikut dengan 14.432 Pendamping, dapat dikembangkan sebagai cikal bakal (embrio) pengembangan dan perluasan layanan satu atap (one stop services), melalui Pandu Gempita, di seluruh Indonesia.

Ke depan, Pandu Gempita diharapkan akan menjadi terobosan baru dalam mengembangkan model dan sistem pelayanan terpadu, untuk mewujudkan Kota/Kabupaten yang sejahtera, sesuai amanah konstitusi maupun tujuan pembangunan nasional.  Adapun indikator keberhasilan Kota/ Kabupaten Sejahtera meliputi :

1.        Terbangunnya layanan satu atap untuk penanggulangan kemiskinan dan masalah sosial lainnya.

2.        Peningkatan aksesibilitas layanan sosial dasar yang mudah, murah/gratis, berkualitas bagi warga miskin dan rentan (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, lapangan kerja, air bersih, layanan kesejahteraan sosial dll).

3.        Bangkitnya gerakan kesetiakawanan sosial secara terpadu  (bedah kampung, Ekspedisi Kemanusiaan, aksi bersama, Community Development CSR, dll).

4.        Terbangunnya mekanisme yang ramah dalam penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial dengan cara pendampingan sosial oleh social worker.

5.        Terbangunnya sarana prasarana mobilitas bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan (lansia, perempuan hamil dan anak-anak).

 Optimalisasi kebijakan pengembangan sistem pelayanan terpadu dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial dimaksud tentunya membutuhkan dukungan SDM Kesejahteraan Sosial yang profesional, inovatif dan kompetitif. Di sinilah peran strategis Badiklitkesos, yang sesuai dengan tugas dan fungsinya menjadi  unit pendukung (supporting system), khususnya dalam pengembangan Kompetensi Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial pendidikan tinggi pekerjaan sosial, pengembangan profesi pekerja sosial dan lembaga kesejahteraan sosial, penyediaan data dan informasi, maupun penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial, guna mendukung pengembangan berbagai kebijakan di bidang kesejahteraan sosial.

Saya juga mengapresiasi inisiatif BBPPKS Padang dengan diselenggarakannya Diklat Pendamping Sosial Bagi TKSM, yang pelaksanaannya bersamaan dengan pelaksanaan Rakorbang SDM dan Pembangunan Kesos III Tahun 2014. Optimalisasi pengembangan sistem pelayanan terpadu dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial juga akan sangat ditentukan oleh kualitas pendampingan sosial, sehingga peran para pendamping sosial ke depan akan semakin strategis dan fundamental.

Dalam pandangan saya setidaknya akan ada 4 (empat) peran strategis dari seorang pendamping sosial, baik yang berasal dari unsur pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial, penyuluh sosial, tenaga kesejahteraan sosial masyarakat maupun relawan sosial.

Pertama, memperkuat gerakan masyarakat berbasis kesetiakawanan sosial dalam pemberantasan kemiskinan dan masalah sosial lainnya.

Kedua, memfasilitasi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan komunitas melalui aktifitas pembelajaran, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sehingga dapat memenuhi kebutuhannya.

Ketiga, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk memperbaiki kualitas hidup, yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan, pendapatan, lingkungan, religi dan seni budaya.

Keempat, memperkuat ketahanan sosial anggota komunitas untuk kelangsungan pembangunan pada tingkat komunitas dan pembangunan seluruh masyarakat.

Saya berharap agar melalui Rakorbang SDM dan Pembangunan Kesos III Tahun 2014 ini dapat dihasilkan butir-butir kesepakatan untuk peningkatan koordinasi, sinkronisasi dan akselerasi pelaksanaan program pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial.

Posting Komentar

0 Komentar